Tag Archives: sistem politik Indonesia

Setelah Menyontreng

 Oleh : Suharyanto

             Akhirnya pilpres kali ini dapat dilewati dengan “aman dan damai” sebagaimana pilpres 5 (lima) tahun lalu. Seperti halnya pilpres 5 tahun lalu, pilpres kali ini juga diwarnai berbagai dinamika politik. Bahkan, dua hari menjelang pilpres ada indikasi pilpres untuk ditunda. Ternyata semua itu tak terjadi. Malah kini sudah menghitung hasil pemungutan suara 8 Juli lalu.

            Berdasarkan hasil hitung cepat dan perhitungan sementara KPU, terlihat bahwa capres incumbent memperoleh suara tertinggi yang bahkan melampaui 50% plus satu. Ini artinya pilpres cukup satu putaran. Gejolak yang diprediksi berbagai pengamat juga nyaris tidak terjadi. Kalaupun ada itu hanya riak-riak kecil yang mewarnai pilpres. Hal ini memperlihatkan bahwa masyarakat sudah dewasa dalam berdemokrasi melalui pilpres. Tinggal bagaimana elit politiknya saja. Berbagai gejolak pasca pilkada tak terlepas dari peran elit politik daerah yang justru tidak mau memahami dan menerima kenyataan politik. Dus, perlunya penyelenggara pilkada ataupun pilpres meningkatkan netralitas dan profesionalismenya.

            Rakyat telah menentukan pilihan, tinggal menunggu hasil perhitungan pilihan rakyat itu. Rakyat Indonesia hanya menginginkan kehidupan yang dama dan tentram serta meningkat kesejahteraannya. Oleh karenanya, apapun hasilnya dan siapapun yang memperoleh suara pilihan rakyat terbanyak, maka hendaklah itu semua dalam kerangkan mensejahterakan rakyat. Rakyat sudah terlalu lelah untuk selalu menderita dan disuguhi dengan drama-drama politik yang menegangkan seakan-akan itu hanya akal-akaln para elit dengan mengatasnamakan rakyat. Rakyat butuh kedamaian dalam menjalani hari-harinya. Rakyat tidak ingin di pentas perpolitikan negeri kita diwarnai dengan drama-drama “lucu” para badut politik. Kini, setelah memilih calon presiden, suasana aman dan damai ini tetap kita pelihara agar semuanya berjalan dengan baik.

            Tanggal 8 Juli lalu, rakyat telah memberikan contoh kepada kita semua, khususnya elit-elit politik, bahwa berdemokrasi mereka telah mampu melaksnakan dengan damai tanpa kekisruhan. Masyrakat justru telah menunjukkan kepada kita bahwa seharusnya elit politik siap menang dan siap kalah. Masyarakat tidak lagi hiruk pikuk dengan siapa yang kalah dan siapa yang menang, mereka hanya memilih dengan ikhlas dan kemudian menghendaki kehidupan yang lebih baik. Untuk itu, tradisi yang baik seperti ini hendaknya dilanjutkan, yaitu tradisi aman dan damai di pemilu. Akan lebih baik lagi bila dalam berdemokrasi kita di pilpres dimulai dengan ucapan “selamat” dari yang kalah kepada yang menang. Alangkah indahnya. Sebaliknya, yang menang jangan sampai tinggi hati. Ingat dengan janji-janji yang telah disampaikan untuk kemudian ditunaikan dalam menjalankan pemerintahan dan kenegaraan lima tahun mendatang.

            Jika rakyat telah memberikan contoh dalam pemilu kali ini, kenapa para elit politik tidak mengikuti teladan yang telah ditunjukkan oleh rakyat, berupa kompetisi dalam kedamaian dan kedamaian dalam kompetisi. Artinya, segala bentuk persaingan yang dilakukan adalah dalam kerangka fastabiqul khairat. Berlomba-loba dalam kebaikan. Rakyat yakin bahwa visi-misi dan program yang diemban oleh masing-masing pasangan capres-cawapres, hakikatnya adalah demi kebaikan rakyat dan bagsa Indonesia dan demi kesejahteraan rakyat. Bukan untuk beberapa gelintir orang di Negara ini. Akhirnya, rakyat telah mendemonstrasikan demokrasi dengan baik, maka ikutilah dan tunaikan janji-jani bagi kandidat terpilih dan sama-sama kita control dalam pelaksanaan pemerintahan mendatang. Bagi yang kalah, maka “legowo” merupakan kebaikan yang tak ternilai.[]

5 Comments

Filed under Artikel Umum

Pilpres

Oleh : Suharyanto

Ini adalah kali kedua Indonesia menyelenggarakan pemilihan presiden secara langsung. Pertama adalah tahun 2004 yang menghasilkan pemenang pasangan SBY-JK. Kini, pasangan yang bertanding ada tiga, Mega-Prabowo, SBY-Boediono dan JK-WIN. Kampanye demi kampanye telah dan sedang dilalui, berbagai pernak-perniknya juga telah muncul ke permukaan. Ada yang mengatakan sebagai black campaign, ada yang mengatakan ini strategi lawan dan lain sebagainya. Isu yang digunakan jug abermacam-macam, ada yang menggunakan isu aliran (ideology) ekonomi, SARA dan lain sebagainya.

Pokoknya terkesan panas. Saling kritik, saling serang dan saling tuding selalu menghiasi kampanye dan iklan politik masing-masing pasangan. Kontras dengan apa yang kita saksikan pada layar kaca pada saat ”debat” capres maupun cawapres. Arena debat yang seharusnya menjadi ajang adu gagasan dan langkah penyelenggaraan negara dan bangsa ini secara baik dan benar dengan argumen yang menguatkan justru terlihat sebagai ajang pemaparan visi-misi tanpa deferensiasi. Banyak yang merasa “kurang puas” karena “debat” yang diharapkan tidak terjadi. Memang, sempat terjadi lontaran yang cukup menggelitik, tetapi tidak pada substansi.

Ada yang pro dan ada yang kontra dengan cara ”debat” capres dan wapres kita. Ada yang berpendapat, jika debatnya seperti yang terjadi pada debat capres USA maka ini tidak sesuai dengan kultur bangsa kita sehingga dengan cara seperti yang saat ini terjadi merupakan cara yang cocok. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa debat seharusnya melontarkan ide dan kritik terhadap pesaingnya, bukan adu tuding perkara pribadi.

Apapun, ini semua masih dalam proses menuju kedewasaan berdemikrasi. Yang penting jangan sampai pada saat dan setelah pilpress terjadi kerusuhan, yang sama-sama tidak kita inginkan. Seorang tokoh terkemuka dalam suatu resonansinya di harian nasional mengatakan bahwa jangan sampai pemilu Iran ”diimpor” oleh Indonesia. Yang dimaksudkan tentu saja kerusuhan pasca pemilu Iran baru-baru ini. Selama ini, Iran menyelenggarakan pemilu relatif tanpa gejolak. Nah, sekarang terjadi gejolak yang tidak terbayangkan sebelumnya hingga menelan korban puluhan orang. Hal inilah yang tidak diinginkan terjadi di Indonesia. Kita sudah terlalu lama mengalami kerusuhan. Sejak reformasi bergulir, hampri setiap hari kita disuguhkan dengan menu kerusuhan. Rakyat sudah letih dan bangsa ini menginginkan kedamaian. Masyarakat menginginkan ketenangan dalam menjalani hidup dan untuk menggapai kesejahteraan, bukan kerusuhan. Untuk itu, hal ini sangat membutuhkan kearifan para tokoh-tokoh politik, formal maupun informal untuk menciptaan suana yang damai, aman dan menyenangkan khususnya dalam pelaksanaan pilpress kali ini. Jangan hanya karena kepentingan kekuasaan, masyarakat menjadi korban. Mari kita ciptakan kedamaian dalam pilpress ini.[]

Leave a comment

Filed under Artikel Umum

Kalah Curang

Oleh: Suharyanto

Akhirnya, setahap demi setahap, setapak demi setapak penghitungan suara pemilihan umum legislatif sudah dilakukan. Banyak kalangan menilai bahwa penghtungan suara pemilu kali ini berjalan sangat lambat, alot, banyak protes sana-sini dan kekisruhan-kekisruhan lainnya. Belum lagi bila ditambah dengan keksruhan Daftar Pemilih Tetap, maka pemilu kali ini dinilai paling buruk dalam sejarah pemilu di Indonesia.

Kembali pada penghitungan suara. Jika pemilu sebelumnya, persaingan kandidat lebih kepada persaingan antar partai maka kali ini justru persaingan yang amat ketat dan berat adalah persaingan antar kandidat dalam satu partai. Sudah menjadi rahasia umum bahwa intrik-intrik untuk menuju kursi legislatif amatlah menyeramkan. Telikung sana,telikung sini. Bahkan, konon, terjadi pengalihan perolehan suara dari satu kandidat ke kandidat lain dalam satu partai. Memang, jumlah suara parpol secara keseluruhan tidaklah berubah, tetapi yang berubah adalah orang yang akan mewakili partai ke kursi legislatif. Jadi, “musuh” utama adalah teman separtai. Oleh karenanya, tidak sedikit kandidat yang merasa “dicurangi” justru bersahabat dekat dengan kandidat dari partai lain yang juga merasa dicurangi oleh teman separtainya.

Ternyata aroma telikung menelikung ini terjadi marak dan massal. Siapapun pasti akan melakukannya demi kursi legislatif. Apa lagi, para kandidat kali ini lebih banyak diisi oleh orang yang sebenarnya “sedang mencari pekerjaan”. Bukan oleh mereka yang memang terjun di dunia politik sebagai pengabdian hidupnya. Kepentingan pragmatis jangka pendek lebih mengemuka ketimbang kepentingan khalayak ramai sesuai dengan idealisme berpolitik, berbangsa dan bernegara. Wajar pula bila banyak kalangan yang menilai bahwa para penikmat kursi legislatif kali ini tidak lebih baik dari yang lalu.

Logika politik nasional kita memang suatu anomali dalam teori dan praktik politik di muka bumi. Sistem pemerintahan yang dianut adalah presidensial tetapi praktiknya parlementer. Politisi, pejabat, atau tokoh yang sebelumnya berseberangan, tiba-tiba bersahabat dekat, begitu pula sebaliknya. Semua terjadi secara tiba-tiba dan mengejutkan dan keterjadiannya lebih kepada kepentingan personal, tetapi mampu menarik gerbong politik. Konon yang katanya bernama koalisipun tak ubahnya hanya bikin blok-blokan yang dilandasi kepentingan pragmatis dan amat personal. Tidak ada “koalisi” berdasarkan platform, ideologi dan kesamaan cara pandang mengelola negara. Sepertinya dbutuhkan teori politik tersendiri untuk menjelaskan fenomena perpolitikan yang terjadi di Indonesia. Jika Miriam Budiarjo masih ada, beliau tentu akan mengecualikan praktik perpolitikan kita dalam bukunya teori politik, saking anomalinya sistem kita.

Barangkali karena berawal dari anomali yang demikian maka di bagian hilirnyapun terjadi penyimpangan. Semua mengalami penyimpangan tak terkecuali. Di kedai-kedai kopi, tempat nongkrong-nongkrong sekelompok orang, pembicaraan selalu terfokus pada kecurangan si A terhadap si B dalam satu partai. Katanya si A mestinya suaranya tidak sebanyak itu. Begitulah. Tetapi ada juga yang menimpali, sebenarnya si B pun melakukan hal yang sama, hanya si B kalah curang dibanding dengan si A.[]

Bengkulu Ekspress, Jumat 8 Mei 2009

2 Comments

Filed under Artikel Umum