Masih Tentang Mall

Oleh : Suharyanto
Sekarang mulai agak melenggang bila berjalan di mall yang ada di Kota Bengkulu. Tidak seperti pada awal pembukaan, mall tersebut demikian penuh sesak oleh pengunjung yang hendak belanja, terutama karena ada promo belanja diskon suatu supermarket, dan pengunjung yang sekedar jalan-jalan. Suatu hal yang lumrah saja dan bisa terjadi di mana saja, kapan saja dan untuk jenis apa saja. Justru persoalannya malah pada aksesibilitas ke mall tersebut yang jelek akibat “pengerjaan” jalan yang tak kunjung usai.


Biasanya, kehadiran suatu pusat perekonomian akan memicu atau melahirkan suatu dampak yang akan turut menunjang keberadaannya semakin kokoh. Kehadiran mall diharapkan membawa dampak pada penyediaan infrastruktur yang memadai sehngga aksesibilitasnya menjadi mudah. Tetapi bila kita simak, yang terjadi belumlah demikian. Di salah satu mall malah disuguhi pemandangan yang menurut saya kurang menguntungkan, yaitu kondisi jalan yang tidak nyaman untuk dilewati. Ketika musim kemarau maka debu beterbangan dan menganggu kebersihan dan kesehatan masyarakat dan lingkungan sekitar. Bila musim hujan maka akan digenangi oleh air laksana kubangan kerbau.
Makanya tidak salah bila kemudian (beberapa waktu lalu ) masyarakat protes dengan menanami jalan dengan pohon pisang. Kemudian, dengan protes seperti itu, barulah jalan “diperbaiki” dengan menimbun kubangannya. Cara ini mungkin dianggap cukup untuk menenangkan protes warga. Belum begitu lama ditimbun dengan koral, jalan masih terus dilakukan “perbaikan: yang tak kunjung usai. Sepertinya tidak akan pernah usai hingga bekas timbunannya sudah rusak lagi. Dan mungkin baru akan dikerjakan dengan sungguh-sungguh bila sudah ada penanaman batang pohon di jalan itu lagi. Inipun masih mungkin, soalnya jika dikerjakan sungguh-sungguh maka tidak kan selarut ini pengerjaan jalan yang justru di pusat keramaian (mall).
Nah, jika demikian maka kehadiran mall yang sempat membuat warga Bengkulu bangga (bagi yang membanggakan mall) karena sudah tidak lagi kalah dengan kota kabupaten di provinsi tetangga bisa menjadi pudar. Apa lagi bila ini dikaitkan dengan program wisata pemeritah daerah. Bagaimana bisa menjadi daerah wisata internasional bila infrastruktur yang seharusnya memadai malah amburadul tidak karuan.
Dari sini maka keberadaan mall menjadi kurang terdukung oleh adanya infrastruktur yang memadai. Padahal kehadiran mall ini menjadi daya tarik dan daya dukung tersendiri bagi pengembangan wisata di Bengkulu. Selain itu, infrastruktur yang memadai juga akan menunjang proses perekonomian dan wisata itu sendiri. Apa lagi mall yang satu ini ada di pintu gerbang wisata andalan Bengkulu, Pantai Panjang.

 

Bengkulu Ekspress, Jumat 5 September 2008

4 Comments

Filed under Artikel Umum

4 responses to “Masih Tentang Mall

  1. Ya, saya pikir kita memiliki kesamaan pandangan. tulisan saya mengenai mall bukanlah saya pendamba mall. Saya hanya ingin berpikir realistis bahwa keberadaan mall mesti dimanfaatkan untuk kemakmuran masyarakat Bengkulu. Benar, bahwa pusat belanja bukan hanya mall dan mall bukansatu-satunya media penggerak ekonomi masyarakat. Di sinilah kekhawatiran saya terhadap kapitalisme melalui mall, untuk itu, jadikan mall sebagai pintu atau etalasi pengenalan produk-produk usaha kecil dan menengah di Bengkulu.

  2. Puisat perbelanjaan barang-barang kebutuhan tak harus mall kan? Saya setuju pada konsep “pasar” dalam pikiran Pak Suharyanto. Namun, tak perlu namanya mall ya. Dalam hal ini, abaikan dulu pernyataan Shake Spear “apalah artinya sebuah nama”. Baiklah, soalh nama kita berbeda, tetapi tentang pusat belanja yang bisa jadi tempat menjual yang khas produksi daerah saya sepakat dengan Anda.

    Mall, bahkan di negara-negara maju, merupakan musuh orang-orang yang mendambakan kenyamanan tempat tinggal. Itulah sebabnya pusat belanja diletakkan di pinggiran kota,bukan di tengah-tengahnya.

    Pernah Kompas menurunkan tulisan menarik saat menyambut ulang tahun Jakarta. Ibukota negara kita ini seolah kekurangan tempat belanja, di mana-mana ada mall. Lalu orang bekerja siang malam ternyata hanya untuk memasuki pusat-pusat belanja itu. Betul-betul budak belanja, Homo Economicus?

    Saya lebih suka kita-kita memanfaatkan waktu luang dengan berkumpul dengan keluarga, ngobrol dengan tetangga, bermain sepak bola, atau mengajak orang-orang membersihkan kota dari sampah-sampah sekaligus kampanye cinta kebersihan. Zaman sekarang, seduksi konsumerisme menggiring masyarakat untuk memanfaatkan waktu luangnya ke pusat-pusat perbelanjaan. Itulah kekhawatiran saya pada masyarakat dimana saya dilahirkan, Bengkulu.

    Oh ya, saya sendiri ikut beberapa kampanye sosial bersama teman-teman seluruh dunia yang diinisiasi oleh Adbusters. Sekedar perkenalan pada program ini, bisa baca salah satu posting saya di sini.

  3. Sebenarnya tidak ada hubungan langsung antara jumlah wisatawan dengan keberadaan mall. Mall menjadi penting sebagai salah satu indikator kemajuan suatu daerah (tentunya bila setelah dilakukan studi kelayakan yang sesungguhnya). Dengan hadirnya mall diharapkan memudahkan bagi wisatawan untuk “berbelanja” untuk keperluan mereka, sesuai dengan selera mereka. Mall diharapkan menjadi penunjang promosi produk lokal apabila digarap dengan baik antara pemerintah, masyarakat (pengusaha kecil, misalnya) dan pengelola mall. Disamping itu bisa jadi mall menjadi pintu etalase produk lokal. Di Bengkulu kan sudah ada “etalase” untuk kerajinan makanan khas, yaitu di Anggut. Jadi, saya pikir keberadaan mall harus dimanfaatkan semaksima mungkin untuk masyarakat Bengkulu. Bukan malah sebaliknya….

  4. Simpang Limo

    Maaf pak Suharyanto, kalau boleh jelaskan dong hubungan antara Mall dengan jumlah wisatawan yang datang ke daerah yang memiliki mall? Kalau wisatawannya dari dari daerah lain di Nusantara ini, mungkin ya. Tapi wisatawan luar negeri tentunya ingin mencari sesuatu yang unik daerah daerah yang mereka kunjungi. Mall bukan khas Bengkulu.

    Membaca cerita ini, saya ingat saat beberapa tahun lalu ke Ponorogo. Jalan-jalan di pedesaan tempat kawan teman saya di sana betul-betul ditanami pisang, hingga pisangnya berbuah, sebagai bentuk protes masyarakat. Malu juga Pemda setempat atas kejadian itu. Akhirnya jalan-jalan diperbaiki. Protes wara betul-betul harus kreatif ya, supaya menarik perhatian semua kalangan. Kalau perlu, People Disobedience, misalnya tidak usah bayar pajak. Kalau saya, hingga sekarang belum mau membuat SIM karena masih banyak Polisi (calo) dan prosedur yang dipersulit.

Leave a comment